Perlukah Undang-Undang Contempt of Court Diterbitkan?

Hotman Paris Hutapea dan Razman Arif Nasution

 

Melihat fenomena atau kejadian dunia persilatan 2 Advokat perseturuan HPH & RAN  serta naiknya Advokat ke meja secara spontan atau tidak sengaja tidak sengaja ke meja persidangan tempat mereka satu gerbong Tim Hukumnya Terdakwa (RAN) akibat tersumbatnya terdakwa menginginkan Persidangan digelar secara terbuka dan terang benderang ini kasus agar publik tahu apa masalahnya hingga Pelapor (HPH) melaporkan pencemaran dirinya kepada yang berwajib hingga menjadi proses penyidikan diduga telah melakukan pencemaran nama baiknya ditetapkan jadi Tersangka hingga Terdakwa diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

 

Tersangka berapa kali sidang secara maraton uda mulai curiga ada dugaan Majelis Hakim yang menangani perkara ini berat sebelah katakanlah patut diduga memihak nyata tadi telah sepakat persidangan diperiksa secara terbuka untuk umum nyata Majelis Hakim menyatakan kasus ini Tertutup untuk digelar di pengadilan ini, hingga Terdakwa marah bentuk memuncak berbicara terkesan tidak terkontrol karena hak-hak terganggu bahkan Terdakwa (RAN) mendatangi Pelapor yang  duduk di kursi Sidang dihadirkan untuk didengar keterangannya terjadi antara Terdakwa memegang bahu HPH dikira terjadi pemukulan yang dahsyat dengan tubuhnya yang besar dan kekar itu dapat dilerai para Advokat yang lain melihat kejadian itu secara spontan anggota Tim Hukum nya oknum Firdaus Oibowo (FO) menginjak meja akhir terjadi kericuhan seketika itu membuat pengunjung sidang dan Advokat menjadi ramai jadi tontonan publik dalam persidangan, peristiwa ini terjadi ketika sidang diskor oleh Majelis Hakim.

 

Tanggapan Ketua MARI melalui Juru bicara Humas nya.

 

Ketua MARI segera memerintahkan agar peristiwa ini dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Terdakwa (RAN) tidak menerima begitu saja mengambil sikap untuk mendatangi Mahkamah Agung RI dan melaporkan ke Komisi Yudisial sebagai pengawasan perilaku Hakim dalam proses siapa yang benar dan salah, menurut juru bicara/ Humas MA RI Yanto mengatakan pada media bahwa telah terjadi Contempt of Court artinya perilaku Terdakwa yang merupakan Advokat membuat keonaran dan menghina persidangan di pengadilan negeri Jakarta Utara dengan amarahnya yang tidak terkontrol sehingga wibawa pengadilan terganggu yang merupakan tempat terhormat menjadi tercoreng atas ulah Terdakwa dengan Tim Hukumnya sebelumnya juga Terdakwa (RAN) sudah dipecat secara tidak hormat dari OA dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) versi Ketua Umum nya Miya Lubis, S.H., M.H. pindah ke OA Peradi Bersatu dan kedua Advokat ini di beri sanksi di bekukan Berita Acara Sumpah nya yang Advokat naik meja di pecat secara tidak hormat dari OA yang sama kedua Berita Acara Sumpah di bekukan yang Terdakwa (RAN) diambil Sumpah nya di Pengadilan Tinggi Ambon sedangkan Advokat yang menginjak meja oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banten.

 

Terhadap masalah tersebut beragam pendapat dari praktisi dan petinggi OA yang ada sah dan tidak seorang Advokat di bekukan oleh Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Tinggi, kemungkinan melihat peranan dan kewenangan Pengadilan Tinggi yang mengambil Sumpah nta sesuai dengan UU Advokat No.18 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) itu karena diduga telah melanggar Sumpahnya.

 

Yang menjadi pembahasan tulisan ini media ini meminta pendapat ( opini ) seputar “Contempt of Court” untuk di terbitkan RUU hingga menjadi UU ?

 

Sebelum kita bahas ada terhadap pelaku tindak pidana yang dalam Hukum Pidana dapat kita lihat pasal-pasalnya dapat diterapkan.

 

Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia saat ini terdapat beberapa pengaturan yang dapat diklasifikasikan sebagai bentuk dari contempt of court, terdapat dalam KUHP Indonesia yang pasalnya masih tersebar secara parsial, yaitu dalam Pasal 207, Pasal 210 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 212, Pasal 216 Ayat (1), Pasal 217, Pasal 220 dan Pasal 317, Pasal 221 dan Pasal 223, Pasal 224, Pasal 231 dan 232 serta Pasal 233, Pasal 242 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 316, Pasal 393 bis, Pasal 420, dan Pasal 522. Perbuatan contempt of court tersebut bersifat kontradiktif dengan tujuan peradilan yang bersih serta berwibawa yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jiwa dan semangat yang tercantum dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, butir 4 alinea ke-4 merupakan pandangan dan istilah mengenai contempt of court untuk pertama kalinya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

 

Menurut hemat Bung MMMHS/ Hersit sebagai pakar hukum pidana dari FHS Unma Banten ini berpendapat tidak perlu dibuat RUU menjadi Undang- Undang Contempt of Court cukup dengan perundangan kriminal umum yang ada dalam KUHP lama dan yang baru atau perundang-undangan yang sifatnya umum dapat dijerat dan dihukum yang penting dapat ditindak dengan tegas pelakunya bukan saha Advokat siapa saja yang membuat keonaran, penghinaan peradilan dalam pengadilan dapat dipidana termasuk 2 (dua) oknum Advokat itu tentu kita tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah semua lewat proses dan mekanisme nya secara normatifnya demikian.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *